Kamis, 24 Januari 2008
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifisasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.
Trisno Sumardjo, Pluralitas Seni dan Mazhab Bandung
Oleh Aminudin TH Siregar
Dalam pelataran sejarah seni rupa Indonesia, nama Trisno Sumardjo mungkin tidak selegendaris S Sudjojono yang karismatik dan kontroversial. Dia juga bukan pelukis berhasil jika Affandi dijadikan patokannya.
Tidak seperti halnya Sang SS 101 yang sering dikutip penulis seni rupa kita, pikiran-pikiran tokoh kelahiran Surabaya itu jarang mendapat tempat dalam wacana seni lukis Indonesia. Padahal, tidak jarang pemikiran seninya tampak jernih dan tajam, khususnya tatkala dia melihat gejala lahirnya seni lukis modern kita. Dia, misalnya, menulis karakter seni lukis modern Indonesia yang dibidani kelompok Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia 1937) itu sebagai peristiwa terjadinya pembebasan diri seniman untuk mulai memberlakukan sikap hidup dan tradisi baru.
Karakteristik Persagi, demikian dia menyebutnya, adalah langkah baru seniman untuk menyingkirkan mental kolektif dengan lebih mengutamakan kekuatan individunya. Kolektivisme di sana dianggap Trisno Sumardjo berasal dari agama, filsafat, dan susunan tata negara baik feodal maupun kolonial.
Agaknya, dibandingkan dengan S Sudjojono, Trisno Sumardjo adalah salah seorang yang berusaha meneorikan seni lukis modern Indonesia tanpa terburu-buru memberi kesimpulan. Kedua orang yang bersahabat itu pun dikabarkan pernah berseteru di tahun 1950-an ketika S Sudjojono menganjurkan setiap pelukis kembali ke realisme. Trisno membantah bahwa: "Rakyat kita tidak hanya mengerti realisme, melainkan juga cara-cara lain. Sebab, umumnya rakyat dari dahulu kala telah mengenal deformasi, baik dalam bentuk maupun warna. Perhatikan wayang-wayang kulit, relief-relief Borobudur, patung-patung serta lukisan Bali, dan sebagainya. Bukankah hal-hal yang ekspresif, stylistis, dan dekoratif di dalamnya itu jauh dari realisme?"
Perawakan kurus dan berdahi lebar, pada tanggal 21 April 1969, di usia 53 tahun dia wafat setelah diberitakan kena serangan jantung. Pelukis Nashar (Horison, No 6, 1969) sempat mengenang sosoknya yang berwatak keras dan kaku. Namun, masih mengikuti Nashar, mengutamakan kebebasan individu adalah teladan dari seorang Trisno Sumardjo. Nashar sempat membayangkan sosoknya yang cepat naik pitam jika ada seniman yang hanyut atau mengarah pada ketidakbebasannya sendiri. Kepada pelukis Nashar dan Zaini, dia pernah berujar: "Kalian sebagai seniman jangan hanya melukis saja, lakukanlah sesuatu yang lebih luas."
Publik seni mengenal sosok ini sebagai seorang pelukis, pengarang, penerjemah karya-karya sastra dunia, dan seorang kritikus seni. Rasanya, sepanjang hidupnya hanya mengabdi pada perbaikan kesenian. Nashar pun sempat mencatat ucapannya: "Kesenian, bukanlah alat untuk mengejar materi atau mencari keharuman nama."
Trisno Sumardjo memang wafat menelan idealismenya dalam kemelaratan. Batu nisannya adalah sebuah buku kecil yang lusuh yang disunting sastrawan Korrie Layun Rampan. Tetapi, buku lusuh itu sangat membantu generasi sekarang memahami dan mengingat-ingat sosoknya. Buku yang terbit pada tahun 1985 itu semakin lusuh karena diberi judul: Trisno Sumardjo, Pejuang Kesenian Indonesia.
Risalah Pluralitas 1956 dan Lahirnya Mazhab Bandung
Berbeda dengan anggapan dalam dunia seni rupa kita yang meyakini fenomena pluralitas digagas pada era 1990-an (yang konon ikut didongkrak pemikiran pascamodern), saya menilai bahwa isu pluralitas dalam seni rupa Indonesia sesungguhnya telah merebak melalui tulisan Trisno Sumardjo pada tahun 1956 meskipun dia tidak terang-terangan menyebut istilah tersebut.
Ada baiknya kita benar-benar meresapi risalah Trisno Sumardjo yang diberinya judul Kedudukan Seni Rupa Kita. Risalah yang dimuat di dalam bundel Almanak Seni 1957 terbitan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional itu sungguh merangsang pemikiran, terutama sekali ketika dia menamai salah satu sub-judulnya dengan istilah kunci: Situasi Sekarang; Keragaman Gerak Hidup. Dalam maksud demikian, jika istilah situasi sekarang boleh sepadan dengan kontemporer, maka istilah keragaman gerak hidup tentunya sah untuk dipahami sebagai pluralitas.
Pada sub-judul itu, Trisno Sumardjo mengawali pemikirannya dengan fatwa agar perkembangan kreativitas serta perjuangan seni rupa tidak hanya terbatas pada kain kanvas. Fatwa ini menjadi ancang-ancang sikapnya untuk tidak mengutamakan satu bentuk seni rupa tertentu, sekaligus sebagai penanda bahwa situasi seni rupa dasawarsa 1950-an bergolak demikian keras mencari orientasi.
Dengan membangkitkan pluralitas, risalah Trisno Sumardjo tahun 1956 itu seperti tawaran untuk menemukan kembali orientasi seni rupa kita. Kita, demikian harapan Trisno Sumardjo di sana, sebaiknya sanggup mengisi lapangan-lapangan baru ke arah pembangunan seni rupa selanjutnya. Dia menyebut lapangan baru yang tidak semata kanvas itu antara lain membangkitkan karya cukilan kayu, etsa, ex-libris, fresco, patung, relief, monumen, keramik, arsitektur, tata kota dan sebagainya.
Memang, secara umum pada sub-judul risalah, Trisno Sumardjo menangkis konsepsi realisme seni lukis S Sudjojono yang dianggapnya terlampau sederhana. Realisme sendiri disangsikan tidak lagi berfungsi sebagai terminologi, tetapi, ia menegaskan, lebih berupa genderang dan panji-panji ideologi politik. Ia menyatakan realisme sebagai bentuk kungkungan yang berbahaya.
Pembelaan Trisno Sumardjo tidak semata-mata ditujukan untuk mendebat anjuran S Sudjojono pada tahun 1950 yang mengajak seniman Indonesia kembali ke realisme. Risalah itu adalah pembelaan sewajarnya untuk membuka diri terhadap wacana pluralitas dalam seni rupa kita.
Jika pada tahun 1954 Trisno Sumardjo mengkritik pameran karya-karya hasil pendidikan seni rupa di ITB adalah bentuk pengabdian pada laboratorium Barat, maka kita pahami bahwa dia memang seorang penentang seniman yang lahir dari hasil pendidikan. Seniman, katanya, tidak mungkin diproduksi oleh sekolah. Praktik seni abstrak dan kubistik yang memang diajarkan oleh Ries Mulder kepada Ahmad Sadali dan kawan-kawan di Bandung dituding sebagai praktik seni lukis yang tidak berpijak di Tanah Air. Posisi kritik itu kini menjadi penting dilihat setidaknya untuk dijadikan refleksi awal lahirnya apa yang nanti disebut: Mazhab Bandung.
Sebuah pemikiran lain yang jarang muncul di permukaan wacana seni rupa kita mengenai persoalan ini adalah rumusan Ahmad Sadali pada tahun 1983 melalui artikel Ungkapan di Atas Bidang pada tahun 1983 (Katalog Peringatan 35 Tahun Pendidikan Tinggi Seni Rupa di Indonesia). Meskipun memiliki jeda waktu cukup panjang, rumusan ini boleh dilihat sebagai jawaban atas cap Barat yang dilabelkan oleh Trisno Sumardjo (1954) sebelumnya. Di dalam artikel tersebut, Ahmad Sadali merumuskan bahwa asas antropomorpho-naturrealis semacam yang ada di Barat tidak pernah dikenal di daerah-daerah peradaban Timur.
Bagi Ahmad Sadali asas antropomorpho-naturrealis diyakini sebagai cara pelukisan representatif yang menganggap manusia sebagai sentral yang puncaknya bisa kita lihat dalam kebudayaan Barat. Asas ini kemudian menjadi dogma dalam proses kreasi seorang seniman dan pengaruhnya sampai pula pada kebudayaan daerah di belahan dunia.
Asas ini konon mengutamakan kemahiran gambar anatomi maupun perspektif. Dalam tradisi klasik Yunani, seniman menggambari dewa-dewi mereka dalam wujud manusia. Lukisan-lukisan di Kepulauan Nusantara pun tidak memperlihatkan kecenderungan "realis-naturalis", melainkan selalu memperlihatkan abstraksi, sesuai dengan "ideal oriental".
Ahmad Sadali juga menilai perbedaan bahwa hakikat abstraksi itu penyimpangan dari representasi "murni"; sedangkan abstrak adalah istilah untuk menyatakan pelukisan yang sama-sekali non-representatif. Manusia Timur memang tidak mengenal representasi dalam keseniannya kecuali simbol dan perlambangan. Entah apa yang akan dikomentari Trisno Sumardjo kalau dia berkesempatan membaca argumentasi Ahmad Sadali tersebut.
Sang pejuang kesenian itu dikabarkan mengalami hidup yang getir, pahit, dan sepi. Dia tetap bersikeras bahwa seniman sepantasnya memiliki posisi yang berharga di tengah masyarakat. Keyakinan itu didasari semangat bahwa tugas seorang seniman bukan hanya melukis. Tidak heran, pada bulan Agustus tahun 1950, kritikus itu menghardik: "Alangkah bodohnya pelukis yang takut pada buku-buku tebal...."
AMINUDIN TH SIREGAR Kurator Galeri Soemardja-ITB
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar