Minggu, 23 Maret 2008
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatra Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatra Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.
Wilayah kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.
Sejarah
Pendirian kerajaan Deli
Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Batak Karo yang sudah masuk Melayu (sudah masuk Islam). Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Batak Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulon Janji, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.
Kemelut di tubuh kerajaan Deli
Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.
Periode pemerintahan
Penggabungan dengan Perbaungan
Kerajaan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946. Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kerajaan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Kerajaan Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.
Sultan Thaf Sinar Basyar Syah
Ketika Sultan Johan Alamshah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basarsyah (memerintah 1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.
Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia
Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan Belanda yang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Struktur pemerintahan
Lembaga Orang Besar Berempat
Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:
Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia). Jabatan lainnya
Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah, "Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara' bersendikan Kitabullah".
Penguasa/Sultan
Penguasa
1728-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Syah bin Tuanku Panglima Paderap [Kejeruan Junjungan], Raja Serdang
1782-1822 Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Syah ibni al-Marhum Tuanku Umar [Al-Marhum Kacapuri], Raja Serdang.
1822-1851 Sultan Thaf Sinar Basyar Syah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah [Al-Marhum Besar], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
1851-1879 Sri Sultan Muhammad Bashar ud-din Saif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Shah [Al-Marhum Kota Batu], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
1879-1946 Sri Sultan Tuanku Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din [Al-Marhum Perbaungan], Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang Kepala Rumah Tangga
1946-1960 Tuanku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang Sultan
1960-2001 Sri Sultan Tuanku Abu Nawar Sharifu'llah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
2001 Sri Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Sharif ul-'Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang. Kehidupan Sosial-Budaya
Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap. Berikut ini, sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basyar Syah.
Pepatah Melayu
Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh pada pepatah adat Melayu. Di antara pepatah dan adat tersebut adalah:
secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan itik, air yang dalam diperlihara ikan;
genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai kejayaan);
cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi kerja keras maka pembangunan terlaksana);
hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja pembangunan dengan berhasil baik bersama-sama).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar